HADIAH UNTUK ALLAH

24/02/2012 16:54

 

Kisah ini mulanya aku dengar dari kaset ceramah Syaikh al-‘Arify, “al-Musytaqqun Ilal jannah”. Sumber asalnya dari kitab “Shifah as-Shafwah”, karya Ibnul Jauzi, juga “Masyari’ al-Aswaq”, oleh Ibnu Nahhas. Dari seorang mujahid kesohor, Abu Qudamah al-Syami. Ceritanya agak panjang. Namun Di sini, aku akan ceritakan ulang secara ringkas, dengan harapan semoga meninggalkan bekas.
 
Suatu hari, saat beliau tawaf di Baitullah, seorang menghampirinya, “Wahai Abu Qudamah, sungguh Allah telah tanamkan dalam dirimu kecintaan pada Jihad. Ceritakan padaku sesuatu paling mengagumkan yang pernah Anda saksikan dalam medan jihad…!”. Abu Qudamah berkata: “Baiklah. Kala pecah perang antara kaum muslimin dan golongan Nashara di Raqqah, aku bangkit menyeru penduduknya untuk bergabung. Aku sampaikan janji-janji akan surga, kedudukan syuhada’, serta pahala yang agung di sisiNya…
 
Saat aku kembali ke penginapan, tiba-tiba pintu diketuk. Aku terperanjat. Rasanya, tidak ada seorang pun kenalan di kota ini. Tidak pula kerabat dan sahabat. Ragu kuraih gagang pintu, dan membukanya. Ternyata seorang wanita berdiri di sana. Dalam keterkejutan, aku bergumam, “Audzubillahi minas Syaithanir Rajim”, “Apa yang anda inginkan wahai amatullah (hamba Allah)?”, tanyaku. “Benarkan Anda Abu Qudamah?”, ia balik bertanya. “Iya, benar”, jawabku. Tiba-tiba ia berikan padaku bingkisan kecil dan sehelai surat, lalu berpaling pergi sambil menangis.
 
Surat itu berbunyi “Wahai Abu Qudamah, hari ini Anda menyeru penduduk kota untuk berperang melawan kaum salibis. Sayangnya, aku seorang wanita yang tidak punya kesanggupan. Tapi aku sangat berharap… Olehnya, aku berikan padamu sesuatu paling berharga yang aku miliki. Mohon jadikan ia tali kekang kudamu dalam perang di jalan Allah. Semoga Allah berkenan menerima dan mengampuni dosaku…”. Aku bergegas membuka bingkisan itu. Ternyata, seikat rambut wanita yang digelung hingga menyerupai seutas tali kekang.  
 
Keesokan harinya, saat pasukan kaum muslimin berderap menuju medan jihad, dari kejauhan nampak seorang remaja belia menunggang kuda, lengkap dengan pakaian perangnya. Umurnya belum genap enam belas tahun. Aku iba padanya. Pelan kukatakan padanya, “Engkau masih sangat belia. Pengalaman perangmu pun belum ada. Aku khawatir engkau terbunuh sia-sia dalam perang ini. Sebaiknya kembalilah dan berbakti pada orang tuamu…”. Remaja itu menolak keras. Bahkan membacakan sebuah ayat, yakni surah al-Anfal ayat 15-16, tentang ancaman bagi yang mundur dari medan perang, “Duhai paman, apakah engkau rela aku menjadi ahli neraka??”. Aku pun menyela, lalu menjelaskan padanya makna sebenarnya dari ayat itu, “Wahai anakku, kami berjihad ini semata-mata agar selamat dari api neraka”. Namun ia bersikukuh menolak. Hingga dengan berat hati aku izinkan ia bergabung bersama pasukan.
 
Ternyata ia hapal al-Qur’an. Ketangkasan berkudanya pun layak diacungi jempol. Tak berlalu waktu sedetikpun melainkan lisannya bergerak melantunkan ayat-ayat Allah atau mengeja lafadz-lafadz dzikir… Hingga saat perang akan segera pecah, aku mendapatinya tidur sambil tertawa. Tawanya keras sekali. Lalu kaget dan terbangun. “Demi Allah kabarkan padaku, mengapa engkau tertawa dalam tidurmu?”, sergahku.  “Wahai paman, ini adalah rahasia antara kita berdua. Sungguh, aku bermimpi bertemu “Mardhiyah”, sahutnya. “Siapa Mardhiyah itu”, tanyaku penasaran. “Duhai paman, ia adalah bidadari tercantik di surga. Saat aku hendak meraihnya, ia berkata padaku, waktumu sudah dekat, waktumu sudah dekat,…ba’da dhuhur insyaAllah”. Aku terpana sambil menangis. Kupeluk erat remaja belia itu. Hingga kemudian berkecamuklah perang hebat.
 
Akhirnya kaum muslimin meraih kemenangan. Pasukan Nashara mundur menenteng kerugian jiwa dan materi. Setiap dari pasukan kaum muslimin bergegas mencari sanak saudara yang gugur atau terluka. Tiba-tiba aku ingat remaja belia itu. Aku berlari membelah barisan pasukan. Mencari di setiap sudut-sudut medan itu. Lamat-lamat aku menangkap rintihan lirih, “Tolong, panggilkan paman Abu Qudamah…panggilkan paman Abu Qudamah…”. Aku menghambur menuju suara itu. Ia adalah remaja belia yang aku cari. Terkapar dengan tubuh penuh sabetan pedang dan tikaman tombak. Di sisinya tergelak beberapa pasukan Nashara yang berhasil ia lumpuhkan.
 
Segera kuraih remaja itu. Memeluknya sambil menangis. Kuseka darah yang terus merembes dari cela-cela lukanya. Pelan ia berbisik, “Paman, jika paman tiba di kota, perlihatkan pakaian yang aku kenakan ini pada ibuku. Sampaikan, bahwa Allah Ta’ala telah menerima hadiahnya…!!”. “Demi Allah aku tidak mengenal siapa ibumu”, sahutku serak. “Subhanallah, begitu cepat paman lupa. Ibuku adalah wanita yang memberikan paman bingkisan berisi gelungan rambut untuk dijadikan kekang kuda. Hiburlah ia. Sungguh di tahun pertama ia kehilangan ayahku, dan pada tahun ini ia akan kehilangan aku…”. Beberapa saat kemudian, bibirnya mengeja dua kalimat syahadah, lalu menghembuskan nafas terakhir.
 
Setelah peristiwa itu, aku tidak memiliki selera apapun melainkan ingin segera menemui wanita mulia itu. Setelah berkeliling dan bertanya, aku pun menemukan tempat tinggalnya. Seorang anak perempuan keluar sesaat setelah pintu kuketuk. Demi melihatku seorang diri sambil menenteng pakaian berlumuran darah, tiba-tiba ia berseru latang lalu jatuh pingsan. Sang ibu segera keluar. Sambil memeluk putrinya ia bertanya, “Wahai Abu Qudamah, engkau datang untuk ta’zitah (belasungkawa) atau tahni’ah (mengucapkan selamat)?”. “Apa maksud ta’ziyah dan tahni’ah itu”, tanyaku heran. “Jika anakku mati wajar, berarti ia adalah ta’ziyah. Namun jika ia mati syahid, maka ia adalah tahni’ah”, jawabnya. “Dia mati syahid insyaAllah… Ini, aku bawakan engkau pakaian yang ia kenakan saat bertempur melawan musuh. Sungguh ia gugur dalam keadaan tegak berhadapan dan tidak mundur…”.
 
“Alhamdulillah, semoga Allah menerima hadiahku untukNya”. Sahut wanita itu pelan. Kemudian ia menarik putrinya dan menutup pintu. Aku merasa bahwa putrinya itupun telah menghembuskan nafas terakhir… Aku tetap diam mematung. Masih banyak yang hendak aku tanyakan tentang diri wanita mulia itu. Disamping ingin memberikan sesuatu untuk bekal hidupnya. Juga agar dapat aku ceritakan pada khalayak tentang kemuliaannya, agar ia dihargai di tengah-tengah mereka. Namun sekian lama aku mengetuk pintunya, tak ada satupun jawaban dari dalam rumahnya. Demi Allah, hingga saat ini, aku tidak mengetahui siapa wanita mulia itu….”.
 
Hmm, begitulah keajaiban iman. Seringkali ia melahirkan sikap dan pendirian ajaib. Termasuk kisah wanita mulia ini. Baginya tak ada yang pantas dihadiahkan untuk Allah melainkan sesuatu yang paling berharga dalam hidup. Dan ia telah lakukan… Bedanya dengan kita. Untuk Allah, kadang sekeping receh begitu berat keluar dari saku kita. Kendati sisanya masih begitu banyak tergoret dalam catatan-catatan rekening kita. Sebab orientasi kita adalah kehidupan fana ini. Dan bukan apa yang ada di balik kefanaan dunia itu…
 
 
Makassar, 12 Februari 2011
Rappung Samuddin, Lc, Ma.
 

© 2012 All rights reserved.

Make a free websiteWebnode